Deinfluencing: Tren untuk Kesadaran Finansial yang Lebih Baik
Rabu, 22 Januari 2025 | 13:00 WIB
LINK UMKM - Dalam beberapa tahun terakhir, platform media sosial, terutama TikTok, telah memainkan peran besar dalam membentuk pola pikir dan kebiasaan konsumtif di kalangan generasi muda. Salah satu tren yang muncul adalah deinfluencing, sebuah gerakan yang berusaha menanggulangi budaya konsumtif yang selama ini didorong oleh influencer. Tren ini mengajak orang untuk lebih bijak dan kritis dalam memilih pembelian, serta menghindari barang-barang yang tidak dibutuhkan.
Deinfluencing adalah respons terhadap konsumsi berlebihan, dengan tujuan untuk menyarankan konsumen agar lebih selektif dalam membeli produk. Di TikTok, para kreator menggunakan tagar seperti deinfluencing untuk mengungkapkan pendapat mereka tentang produk yang tidak seefektif yang dipromosikan oleh influencer. Mereka mendorong pengikut untuk berpikir ulang sebelum membeli barang yang seringkali mahal dan tidak terlalu diperlukan.
Gerakan ini semakin populer di kalangan Gen Z, generasi yang sejak dini terpapar budaya konsumsi yang digalakkan oleh media sosial. Namun, meskipun banyak dari mereka terpapar gaya hidup ini, tidak semua memiliki kesadaran finansial yang cukup untuk memahami dampak jangka panjang dari kebiasaan konsumtif tersebut. Dalam konteks ini, deinfluencing berperan penting sebagai upaya untuk mendorong pemikiran yang lebih rasional dalam pengelolaan uang.
Menurut beberapa ahli, salah satu dampak positif dari deinfluencing adalah peningkatan kesadaran finansial di kalangan Gen Z. Gerakan ini mengajarkan mereka untuk memprioritaskan kebutuhan daripada keinginan, serta membentuk kebiasaan keuangan yang lebih sehat. Dengan lebih cermat dalam memilih apa yang benar-benar dibutuhkan, generasi muda dapat mulai mengelola keuangan mereka dengan lebih baik, tanpa terjebak dalam konsumsi impulsif.
Selain dampak finansial, gerakan deinfluencing juga memberikan kontribusi positif terhadap lingkungan. Budaya konsumtif yang berlebihan tidak hanya merugikan individu dari sisi keuangan, tetapi juga menyebabkan dampak negatif terhadap lingkungan, terutama terkait dengan limbah barang yang tidak perlu. Dengan mengajak orang untuk lebih selektif dalam berbelanja, deinfluencing turut membantu mengurangi tekanan terhadap sumber daya alam dan mengurangi limbah konsumsi.
Salah satu aspek penting lainnya dari deinfluencing adalah pengurangan tekanan sosial yang sering muncul dari media sosial. Banyak orang merasa tertekan untuk memiliki barang-barang tertentu demi mengikuti tren yang ada di platform tersebut. Dengan mempopulerkan sikap kritis terhadap budaya konsumsi impulsif, deinfluencing membantu mengurangi tekanan sosial ini, sehingga orang-orang tidak merasa perlu mengikuti tren hanya untuk terlihat mengikuti arus.
Gerakan deinfluencing tidak hanya relevan dalam konteks keuangan pribadi, tetapi juga memiliki potensi untuk menciptakan perubahan sosial yang lebih besar. Khususnya bagi Gen Z, yang saat ini sedang membentuk kebiasaan finansial mereka, gerakan ini memberikan peluang untuk membangun budaya konsumsi yang lebih sehat dan bertanggung jawab.
Bagi mahasiswa dan generasi muda lainnya, ini adalah momen yang tepat untuk tidak hanya memperbaiki kebiasaan konsumsi pribadi, tetapi juga untuk menjadi agen perubahan. Dengan menyebarkan nilai-nilai kesadaran finansial dan keberlanjutan kepada masyarakat, mereka dapat ikut berkontribusi dalam menciptakan masa depan yang lebih baik, baik dari sisi ekonomi maupun lingkungan.
Deinfluencing, dengan mendorong kita untuk lebih kritis dalam mengelola keuangan dan mengurangi tekanan sosial, membuka jalan bagi masyarakat yang lebih sadar dan bertanggung jawab dalam konsumsi, menuju masa depan yang lebih seimbang.
***
NS/ALP