Secarik || Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat
Minggu, 5 Juni 2022 | 23:59 WIB
LINK UMKM - Suatu hari Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat melakukan incognito atau menyamar ke sebuah desa sebagai birokrat pemerintah. sebab, Achmad ingin mengetahui secara langsung kehidupan masyarakat kampung.
Ia melihat satu keluarga petani tengah meriung di sekeliling kerbau peliharaan mereka. Ada haru dan sedu dalam kumpulan tersebut.
Rupanya, kerbau itu akan dimusnahkan karena terjangkit wabah.
"Itu seperti upacara yang lengkap, seperti akan berpisah dengan sesama manusia," Tulis kisah yang dikutip dari buku Herinneringen (1936) atau memoar sang Pangeran menggambarkan begitu dekatnya relasi keluarga petani dan hewan ternaknya di masa lalu.
Bupati Serang (1901-1927) di zaman pemerintahan Hindia Belanda tersebut terenyuh melihat kesedihan tersebut. Dalam peraturan pemerintah saat itu disebutkan hewan ternak yang tertular wabah harus dimusnahkan dengan cara ditembak.
Rasa iba terhadap kondisi rakyat kecil membuat Achmad melakukan negosiasi dengan pejabat yang lebih tinggi agar dicarikan solusi yang lebih manusiawi dan tidak hitam putih.
Akhirnya, muncul pendekatan lain sebagai solusi dengan mengisolasi ternak itu agak jauh dari permukiman warga.
Pendekatan Achmad menunjukkan adanya simpati terhadap rakyat kecil. Dan hewan semacam kerbau, sapi bukan hanya sekadar alat untuk membajak sawah dan lainnya bagi petani. Hubungan yang terjalin erat bahkan mendudukkan hewan peliharaan tersebut seperti bagian atau anggota keluarga petani.
Untuk mengantar kematian saja, warga sampai membuat semacam upacara perpisahan. Kisah sang bupati menghadapi wabah ternak seakan terulang kembali saat ini selepas merebaknya penyakit mulut dan kuku (PMK) hewan ternak.
Polisi hingga kementerian pertanian mengeluarkan pernyataan terkait rencana pemusnahan ternak-ternak yang terjangkit PMK.
Cara Achmad Djajadiningrat mengatasi wabah bisa menjadi opsi lain bagi pejabat saat ini guna mengatasi merebaknya PMK dengan pendekatan budaya yang tak saling menegasikan. Dus, petani/petenak tetap tak kehilangan hewan peliharaannya, dan wabah diatasi dengan melakukan isolasi yang disertai pemberian obat-obatan.
Empat menjalar di wilayah Jabar tempo dulu. Dalam istilah bahasa Belanda, wabah ternak dikenal dengan nama veespest.
Koran berbahasa Belanda Het Nieuws Van Den Dag voor Nederlandsch-Indië dalam pemberitaanya pada 10 Maret 1922 dengan mengutip Aneta mencatat penemuan penyakit hewan yang berjangkit di kandang babi warga Tionghoa di Cimahi. Akibatnya, 50 hewan tersebut mati. "Ekspor daging babi dilarang," tulis koran itu.
Soerabaijasch Handelsblad pada 22 Juni1880 memberitakan wabah ternak ditemukan di Cibalagung dan Maleber di Cianjur. Merebaknya penyakit membuat 13 sapi jantan disembelih lantaran bersentuhan dengan ternak yang dicurigai terjangkit wabah. Kondisi tersebut juga menuai keluhan Van Romunde, seorang direktur perusahaan kina dalam pemberitaan
Nederlandsche Staatscourant, 28 Februari1881. Aktivitas pengangkutan kulit kayu kina ke Cikao, tuturnya, terganggu karena wabah yang menyerang kerbau-kerbau. Kereta kuda memang bisa jadi alternatif mengganti tenaga kerbau, namun biayanya terbilang besar.
Opregte Haarlemsche Courant, 12 Februari1884 menuliskan kasus wabah ternak sapi yang terdeteksi di Kampung Lemahbang, Kapeh dan Patjieung.
"Setelah hari-hari itu beberapa ekor kerbau masih disembelih di kampung-kampung yang disebutkan di atas," tulisnya.
Walau begitu, pemerintah tak tinggal diam. Het Nieuws Van Den Dag voor Nederlandsch-Indië, 27 November 1926 mengutip laporan tahunan dinas kesehatan hewan pada 1925.
diterapkan sampai sekarang (suntikan serum dan inokulasi simultan, serta tindakan isolasi) dilanjutkan dengan sukses di Pulau Jawa," tulis koran itu. Rupanya, tindakan isolasi pun telah dilakukan pemerintah.***