Polemik Larangan Thrifting di Pasar Senen: Ketegangan Kebijakan dan Realitas Ekonomi Pedagang
Jumat, 5 Desember 2025 | 13:00 WIB

LINK UMKM - Polemik pelarangan impor pakaian bekas memuncak ketika pedagang thrifting di Pasar Senen menyampaikan aspirasinya kepada Menteri UMKM pada kunjungan kerja akhir November 2025. Situasi ini memperlihatkan benturan antara kepentingan perlindungan industri produk lokal dan keberlangsungan ekonomi pedagang pasar yang selama bertahun-tahun menggantungkan hidup pada perdagangan pakaian bekas.
Dalam kunjungan tersebut, pedagang secara terbuka menunjukkan kecemasan atas aturan baru. Mayoritas pelaku menganggap kebijakan tersebut berpotensi mematikan mata pencaharian yang sudah dibangun melalui proses panjang. Mereka mengaku menjalankan usaha secara resmi, membayar pajak, serta menyewa kios, sehingga merasa aktivitas bisnis mereka seharusnya tidak diposisikan sebagai tindakan ilegal. Aspirasi ini menegaskan bahwa pelarangan impor tidak hanya menyangkut regulasi perdagangan barang, namun juga keberlangsungan pekerjaan banyak keluarga.
Kisah beberapa pedagang menunjukkan dinamika adaptasi ekonomi pasca-pandemi. Ketika daya beli masyarakat menurun dan minat terhadap pakaian baru melemah, pedagang kecil mencari alternatif agar tetap bertahan. Peralihan dari penjualan pakaian lokal ke thrifting terjadi karena permintaan konsumen bergeser pada produk berkualitas dengan harga terjangkau. Fenomena ini memperlihatkan bahwa thrifting bukan sekadar tren, tetapi menjadi respons pasar terhadap tekanan ekonomi dan perubahan perilaku belanja masyarakat.
Di balik polemik tersebut, pedagang thrifting mengklaim tidak berniat mematikan produk lokal. Mereka menilai bahwa keberadaan mereka adalah bagian dari roda ekonomi domestik. Namun, membanjirnya impor pakaian bekas menimbulkan pertanyaan mengenai dampaknya pada produksi tekstil nasional. Pemerintah berada pada posisi dilematis: menegakkan regulasi larangan impor untuk menjaga industri dalam negeri, sekaligus memastikan ribuan pedagang tidak kehilangan pendapatan secara mendadak.
Kunjungan Menteri UMKM ke lokasi menjadi langkah penting untuk membaca kondisi lapangan. Pemerintah menyadari bahwa rantai ekosistem thrifting sudah terbentuk selama puluhan tahun, melibatkan berbagai profesi seperti penjahit, pencuci pakaian, tenaga bongkar muat, hingga penyortir barang. Jika sektor ini dihentikan secara tiba-tiba, efek domino terhadap kelompok pekerja tersebut berpotensi besar.
Dari perspektif kebijakan publik, persoalan thrifting menuntut pendekatan transisi yang terukur. Penertiban tanpa solusi alternatif berpotensi meningkatkan angka pengangguran dan memicu ketegangan sosial. Sebaliknya, pembiaran impor pakaian bekas tanpa kontrol akan melemahkan industri tekstil nasional.
Arah kebijakan ke depan tampaknya akan bergerak ke jalur kompromi: pedagang tetap diberi ruang usaha sambil bertahap diarahkan pada model bisnis yang sejalan dengan aturan perdagangan. Pemerintah membuka ruang dialog berkelanjutan untuk mengakomodasi aspirasi pedagang sekaligus memperkuat sektor industri lokal. Dengan pendekatan transisional dan berbasis data, polemik thrifting berpotensi berubah menjadi momentum pembenahan ekosistem usaha yang lebih sehat dan berkeadilan.
RAT/NNA





