Dominasi 80% Pakaian Impor China Dinilai Jadi Tekanan Terbesar bagi UMKM Tekstil Indonesia
Senin, 1 Desember 2025 | 08:00 WIB

LINK UMKM - Perdebatan mengenai penyebab turunnya daya saing pelaku UMKM di sektor tekstil kembali menguat setelah isu penertiban pedagang pakaian bekas atau thrifting mencuat ke publik. Sejumlah pedagang thrifting keberatan jika penurunan kinerja UMKM dikaitkan dengan maraknya penjualan pakaian bekas karena mereka menilai pasar keduanya berbeda. Dalam forum bersama Badan Aspirasi Masyarakat DPR RI, pedagang menyampaikan bahwa faktor terbesar yang menekan UMKM bukan thrifting, melainkan banjir pakaian impor murah yang masuk ke pasar nasional.
Data yang dipaparkan kepada komisi menunjukkan bahwa produk pakaian impor dari China menguasai sekitar 80 persen pasar Indonesia. Sisa pangsa pasar digambarkan terdiri dari impor asal Amerika Serikat, Vietnam, dan India, sementara kontribusi produk UMKM tekstil dalam negeri hanya sekitar 5 persen. Angka tersebut menunjukkan ketimpangan kompetisi yang cukup besar, terutama dari sisi harga dan volume, yang berpotensi menyulitkan pelaku usaha lokal untuk bersaing secara sehat.
Berdasarkan perkembangan regulasi, pemerintah melalui Kementerian Keuangan telah menutup keran impor pakaian bekas karena dianggap merugikan industri tekstil nasional dan berpotensi membahayakan kesehatan konsumen. Kebijakan pelarangan tersebut digulirkan sebagai langkah untuk meningkatkan perlindungan industri lokal sekaligus memastikan standar keamanan barang yang beredar di masyarakat. Pemerintah kemudian menyiapkan strategi substitusi produk, yakni dengan mendorong peredaran produk dalam negeri sebagai pengganti barang bekas impor.
Kementerian UMKM menyampaikan bahwa setidaknya 1.300 merek lokal telah disiapkan untuk mengisi ruang pasar yang ditinggalkan oleh produk thrifting impor. Pemetaan yang dilakukan tidak hanya berfokus pada kategori pakaian, tetapi juga mencakup tas, sepatu hingga sandal, dengan target agar konsumen tetap mendapatkan alternatif produk dengan harga bersaing tanpa mengorbankan kualitas maupun keberlanjutan sektor industri dalam negeri.
Di sisi lain, kehadiran pasar thrifting tetap menjadi perbincangan rutin karena popularitasnya secara konsisten meningkat, terutama di kalangan masyarakat berpenghasilan terbatas maupun pemburu produk bermerek dengan harga murah. Fenomena tersebut menimbulkan dinamika karena publik sering memposisikan thrifting sebagai kompetitor langsung UMKM, meskipun sebagian pelaku thrifting menegaskan bahwa basis konsumen dan preferensi pasar mereka berbeda.
Kondisi persaingan tekstil saat ini menunjukkan bahwa UMKM tekstil berada pada lanskap pasar yang menantang. Dominasi impor murah, perubahan preferensi konsumen, serta penetrasi pakaian bekas menciptakan kompetisi bertingkat yang tidak mudah dihadapi oleh produsen lokal yang masih dalam tahap penguatan kapasitas produksi. Pemerintah berharap kebijakan pelarangan impor pakaian bekas dan penyiapan ribuan merek lokal dapat menjadi stimulus untuk memperbaiki struktur pasar, tetapi efektivitas kebijakan tersebut sangat bergantung pada implementasi pengawasan di lapangan serta penerimaan konsumen terhadap produk lokal.
Secara jangka panjang, langkah yang dilakukan pemerintah bertujuan menciptakan ekosistem perdagangan tekstil yang lebih sehat, kompetitif, dan berpihak pada produsen dalam negeri. Jika keberpihakan ini konsisten, industri fashion lokal—termasuk UMKM—diharapkan dapat memperluas pangsa pasar dan menjadi kekuatan dominan di negeri sendiri.
RAT/NNA



