Dinamika Usaha Thrifting 2025: Polemik Kebijakan Impor dan Dampaknya bagi Pelaku UMKM
Rabu, 26 November 2025 | 13:00 WIB

LINK UMKM - Dinamika usaha thrifting kembali mengemuka setelah pelaku usahanya menyampaikan bantahan terhadap anggapan bahwa aktivitas jual beli pakaian bekas merugikan UMKM lokal. Mereka menilai bahwa usaha ini justru menjadi salah satu sumber penghidupan masyarakat, terutama pascapandemi ketika banyak pekerja mengalami pemutusan hubungan kerja dan mencari alternatif usaha baru.
Dalam sebuah gelaran bazar di Banyuwangi pada 11 November 2025, sejumlah pelaku thrifting menjelaskan bahwa mereka memandang diri mereka sebagai bagian dari ekosistem UMKM. Mereka menyebut bahwa posisi mereka bukanlah kompetitor bagi pelaku usaha lokal, melainkan sama-sama pedagang yang mengandalkan aktivitas pasar untuk bertahan. Pandangan tersebut muncul sebagai respons terhadap kekhawatiran pemerintah terkait dampak peredaran pakaian bekas impor terhadap pelaku usaha kecil di sektor garmen dan tekstil.
Data transaksi di berbagai pasar thrifting besar menunjukkan bahwa perputaran ekonomi pada segmen tersebut memiliki nilai yang cukup signifikan. Salah satu contoh ialah pasar thrifting di Jawa Timur yang dilaporkan mampu mencatat transaksi harian hingga ratusan juta rupiah. Angka tersebut mengindikasikan bahwa aktivitas thrifting telah berkembang menjadi sektor ekonomi alternatif dengan rantai pasok dan permintaan konsumen yang stabil, terutama di segmen barang terjangkau.
Pelaku usaha thrifting juga menyampaikan bahwa persoalan utama bukan pada aktivitas jual beli pakaian bekas itu sendiri, melainkan pada masuknya produk impor bernilai rendah yang dianggap menekan harga pasar dan melemahkan posisi pedagang kecil. Dalam penjelasan mereka, harga pakaian impor yang terlalu murah dinilai menjadi faktor yang mengganggu struktur pasar karena membuat persaingan tidak seimbang bagi berbagai jenis UMKM, baik yang menjual produk baru maupun barang bekas.
Di sisi lain, pemerintah tengah memperketat langkah pengawasan barang ilegal, termasuk pakaian bekas yang masuk tanpa prosedur resmi. Penegasan mengenai rencana penutupan akses bagi impor pakaian bekas ilegal disampaikan sebagai bentuk perlindungan terhadap industri tekstil domestik yang dinilai memiliki dampak jangka panjang terhadap penciptaan lapangan kerja. Pemerintah melihat bahwa arus barang ilegal berpotensi melemahkan rantai pasok industri dalam negeri dan mengurangi minat investasi di sektor produksi.
Pelaku thrifting mengakui bahwa kebijakan tersebut menimbulkan kekhawatiran karena dapat berdampak langsung pada keberlanjutan usaha mereka. Mereka berharap pemerintah mengambil pendekatan yang lebih terukur dengan mekanisme pengaturan yang memungkinkan usaha tetap berjalan tanpa merugikan produsen lokal. Dalam pandangan mereka, penutupan total akses impor pakaian bekas berpotensi meningkatkan angka pengangguran, mengingat banyak pedagang bergantung pada usaha tersebut sebagai sumber pendapatan utama.
Diskusi publik mengenai usaha thrifting memperlihatkan dua kepentingan besar yang perlu dikelola pemerintah secara seimbang. Di satu sisi, terdapat kebutuhan menjaga daya saing industri domestik, terutama di sektor garmen yang menyerap ratusan ribu tenaga kerja. Di sisi lain, usaha thrifting telah berkontribusi pada mobilitas ekonomi masyarakat bawah melalui mekanisme perdagangan yang relatif mudah diakses.
Dengan kompleksitas tersebut, pemerintah dihadapkan pada tekanan untuk menghadirkan kebijakan yang berbasis data, melindungi industri lokal, namun tetap memperhatikan keberlangsungan ekonomi rakyat. Situasi ini menunjukkan bahwa dinamika ekonomi mikro tidak dapat dilepaskan dari tata kelola impor, struktur pasar, serta perubahan perilaku konsumsi masyarakat.
RAT/NNA



