Thrifting Ilegal Mengancam UMKM Tekstil Lokal, Perlu Penegakan Hukum yang Tegas

Selasa, 4 November 2025 | 08:00 WIB

Thrifting Ilegal Mengancam UMKM Tekstil Lokal, Perlu Penegakan Hukum yang Tegas

LINK UMKM - Meningkatnya praktik penjualan pakaian bekas impor secara ilegal atau thrifting ilegal dinilai menjadi ancaman serius bagi keberlanjutan usaha kecil dan menengah di sektor tekstil dan pakaian jadi. Fenomena ini bukan hanya menekan daya saing industri lokal, tetapi juga berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi berbasis produksi dalam negeri.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai impor pakaian bekas ke Indonesia meningkat signifikan dalam kurun dua tahun terakhir. Pada 2021, nilai impor tercatat sekitar US$44 ribu dengan volume 8 ton, sedangkan pada 2022 melonjak menjadi US$272 ribu atau setara 26 ton. Meskipun terjadi penurunan pada 2023, dampak dari masuknya pakaian bekas impor tetap terasa di tingkat pelaku usaha mikro dan kecil, terutama produsen konveksi rumahan dan pengrajin tekstil daerah.

Fenomena ini menciptakan tekanan harga yang tidak seimbang antara produk lokal dan barang thrifting. Dengan harga sekitar Rp100 ribu, konsumen bisa mendapatkan beberapa potong pakaian bekas impor, sementara produk UMKM dengan bahan dan tenaga kerja lokal harus bersaing dalam margin keuntungan yang semakin menipis. Kondisi ini menyebabkan sebagian perajin mengurangi kapasitas produksi, bahkan menghentikan kegiatan usaha akibat menurunnya permintaan domestik.

Asosiasi industri serat dan benang nasional mencatat bahwa peredaran pakaian bekas impor ilegal telah menurunkan konsumsi bahan baku tekstil lokal hingga 432 ribu ton pada 2022, atau sekitar 23 persen dari total pangsa pasar domestik. Data tersebut memperlihatkan betapa kuatnya dampak ekonomi dari praktik impor ilegal terhadap rantai pasok industri tekstil nasional.

Selain aspek ekonomi, thrifting ilegal juga memunculkan persoalan sosial dan lingkungan. Banyak pakaian bekas impor yang sebenarnya tergolong limbah tekstil dari negara asal. Alih-alih berkontribusi pada ekonomi sirkular, praktik ini justru menjadikan Indonesia sebagai tempat pembuangan sisa produksi global. Beban pengelolaan limbah meningkat karena sebagian besar pakaian bekas tersebut tidak layak pakai dan berakhir di tempat pembuangan sampah terbuka.

Di sisi lain, tren media sosial turut memperkuat permintaan barang thrifting melalui promosi gaya hidup hemat dan ramah lingkungan. Namun, pengamat menilai bahwa kampanye tersebut sering kali menyesatkan karena tidak membedakan antara thrifting ilegal dan preloved lokal. Thrifting ilegal mengacu pada impor pakaian bekas dalam jumlah besar tanpa izin resmi, sedangkan preloved lokal merupakan jual-beli barang pribadi yang masih layak pakai dengan kualitas terjamin.

Pengawasan di lapangan juga masih lemah. Beberapa daerah bahkan memberi ruang bagi pasar pakaian bekas impor untuk beroperasi terbuka, yang secara tidak langsung melanggengkan praktik ilegal dan melemahkan daya saing UMKM. Pengamat mendesak agar kementerian terkait, lembaga bea cukai, serta aparat hukum melakukan koordinasi terpadu untuk menutup jalur masuk pakaian bekas impor ilegal.

Selain langkah penegakan hukum, peningkatan kesadaran konsumen menjadi faktor kunci. Membeli produk lokal tidak hanya mendukung ekonomi nasional, tetapi juga menjaga keberlanjutan usaha kecil yang menjadi tulang punggung industri tekstil daerah. Kemandirian ekonomi tidak lahir dari pasar yang murah, melainkan dari keberpihakan konsumen terhadap karya anak bangsa.

RA/NN

Komentar

Media Lainnya

Hi!👋
Linda (Link UMKM Digital Assistant)
Chat via WhatsApp disini !

x