Perajin Klakat Bambu Didorong Naik Kelas melalui Program Kemitraan
Selasa, 4 November 2025 | 08:00 WIB

LINK UMKM - Pelaku usaha kerajinan bambu—khususnya pembuat klakat atau kukusan bambu—akhirnya memperoleh peluang baru untuk meningkatkan kapasitas usahanya melalui program kemitraan yang ditujukan bagi pelaku usaha mikro. Di sebuah desa di Kabupaten Serang, Banten, para perajin menyelesaikan pembuatan klakat bambu sebagai implementasi dari program “Kemudahan Usaha Mikro untuk Bermitra”.
Program kemitraan tersebut dihadirkan sebagai bagian dari strategi memperkuat ekosistem rantai pasok nasional dengan cara membuka akses usaha mikro agar bisa naik kelas dan bersaing dalam rantai formal. Dalam praktiknya, perajin bambu di desa tersebut mendapat pendampingan mulai dari proses produksi, standar kualitas, hingga pemasaran. Dengan bantuan kemitraan, mereka berpotensi terhubung dengan jaringan usaha yang lebih besar sehingga tidak sekadar produksi terbatas di lokal saja.
Analisis kapasitas menunjukkan bahwa banyak pelaku usaha kerajinan bambu selama ini menghadapi hambatan seperti akses bahan baku, teknik pengolahan yang belum standar, pemasaran terbatas, serta rendahnya konektivitas dengan jaringan bisnis yang lebih luas. Studi pemberdayaan perajin bambu pada era revolusi industri 4.0 menegaskan bahwa pelatihan, peningkatan desain produk, dan pemasaran daring menjadi kunci peningkatan pendapatan dan daya saing.
Lewat program kemitraan, perajin klakat bambu diharapkan mendapat manfaat sebagai berikut: (1) pelatihan dan pendampingan teknis untuk meningkatkan kualitas produk dari tingkat bahan baku hingga finishing; (2) akses ke rantai pasok formal sehingga produk bambu tidak hanya dijual lokal, tapi juga melalui saluran yang lebih besar dan struktur bisnis yang lebih terorganisir; (3) pemberdayaan usaha mikro agar dapat naik kelas, bukan stagnan pada skala kecil atau informal.
Salah satu aspek penting dari strategi ini adalah integrasi usaha mikro ke dalam rantai pasok nasional, bukan hanya sebagai pemasok kecil ke pasar lokal, tetapi sebagai mitra yang terhubung secara sistematis dengan pemain yang lebih besar. Dengan demikian, dampak ekonomi bisa lebih besar: peningkatan pendapatan pelaku usaha, terbukanya lapangan kerja baru, serta perputaran ekonomi daerah yang lebih aktif.
Kondisi daerah sentra bambu seperti Kabupaten Serang menunjukkan bahwa bila program kemitraan dijalankan dengan baik, maka ekonomi lokal dapat tumbuh melalui sektor kreatif dan kerajinan tradisional yang semula kurang tersentuh. Peningkatan kualitas produk bambu dan kemitraan bisnis menjadikan kerajinan bambu bukan hanya sisi hobi atau produksi rumahan, tetapi bagian dari usaha yang punya prospek naik kelas.
Tentunya, tantangan tetap ada: pelaku usaha mikro perlu memenuhi standar teknis yang ditetapkan dalam jaringan rantai pasok formal—misalnya terkait bahan baku, proses produksi, pengemasan, dan logistik. Selain itu, kemitraan memerlukan transparansi dan komitmen dari pihak besar maupun kecil agar manfaatnya benar-benar dirasakan.
Secara keseluruhan, program kemitraan ini dapat menjadi pelajaran penting bahwa pemberdayaan usaha mikro tidak hanya tentang bantuan satu-dua kali, tetapi integrasi sistematik dalam rantai pasok formal yang menuntut peningkatan kapasitas, kualitas, dan jaringan pasar. Untuk para perajin klakat bambu, ini merupakan kesempatan nyata untuk naik kelas — dari produksi rumahan menjadi bagian dari rantai ekonomi yang lebih besar dan terorganisir.
RA/NN



