UMKM Tetap Jadi Prioritas di Tengah Keterlibatan Restoran dan Kafe dalam Program Makan Bergizi
Selasa, 19 Agustus 2025 | 13:00 WIB

LINK UMKM - Pelaksanaan program makan bergizi gratis (MBG) semakin meluas dengan melibatkan berbagai penyedia jasa pangan, termasuk restoran, kafe, hingga hotel. Kehadiran pelaku usaha besar dalam rantai penyediaan ini menimbulkan pertanyaan mengenai dampaknya terhadap Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Namun, pemerintah menegaskan bahwa UMKM tetap menjadi prioritas utama dalam program ini.
Skala Kebutuhan MBG Sangat Besar
Data Badan Gizi Nasional menunjukkan satu satuan pemenuhan pelayanan gizi (SPPG) mampu menyiapkan hingga 3.500 porsi makanan per hari. Sebelum dilibatkan dalam program MBG, satu restoran rata-rata hanya melayani sekitar 500 pelanggan. Perubahan fungsi ini memungkinkan peningkatan produksi tujuh kali lipat, dengan distribusi langsung ke sekolah, ibu hamil, dan ibu menyusui.
Hingga pertengahan Agustus 2025, tercatat 5.103 SPPG tersebar di 38 provinsi, 502 kabupaten, dan 4.770 kecamatan. Program ini telah menjangkau 15 juta penerima manfaat dan ditargetkan mendekati 20 juta orang pada tahun berjalan. Angka tersebut menunjukkan skala kebutuhan yang sangat besar, sehingga diperlukan kombinasi antara UMKM dan pelaku usaha besar untuk memenuhi target.
Potensi Ekonomi yang Mengalir ke Masyarakat
Pembangunan SPPG rata-rata menelan biaya Rp1,5–2 miliar per unit, seluruhnya ditanggung oleh mitra non-APBN. Perputaran dana di masyarakat yang terkait program MBG telah mencapai hampir Rp28 triliun, sementara dana intervensi gizi dari pemerintah baru terserap sekitar Rp8,2 triliun. Besarnya arus dana ini memperlihatkan bahwa program MBG bukan hanya soal gizi, tetapi juga memiliki dampak ekonomi yang signifikan terhadap ekosistem usaha pangan.
Bagi UMKM, peluang terbesar tetap berada pada rantai pasok, mulai dari penyediaan bahan baku lokal, jasa katering skala kecil, hingga pengolahan makanan siap saji. Keterlibatan pelaku usaha besar dipandang sebagai upaya mempercepat skala produksi, tetapi UMKM tetap menjadi motor penting dalam penyediaan bahan dan distribusi di tingkat daerah.
Tantangan dan Peluang bagi UMKM
Meski tetap diprioritaskan, UMKM menghadapi tantangan besar dalam menjaga kualitas, konsistensi produksi, serta kepatuhan terhadap standar gizi dan higienitas yang ditetapkan. Bagi sebagian UMKM, keterlibatan dalam MBG menjadi peluang strategis untuk naik kelas karena menuntut peningkatan kapasitas produksi dan profesionalisasi manajemen.
Program ini juga mendorong UMKM untuk lebih adaptif terhadap sistem distribusi modern. Dengan mekanisme yang terstruktur, pelaku usaha kecil dapat belajar langsung bagaimana memenuhi kebutuhan pasar dalam skala besar tanpa mengorbankan kualitas.
Kontribusi terhadap Ketahanan Pangan Lokal
Secara lebih luas, keterlibatan UMKM dalam MBG memperkuat ketahanan pangan lokal. Dengan memanfaatkan produk bahan baku dari petani dan nelayan kecil, rantai pasok pangan menjadi lebih berkelanjutan. Selain itu, peredaran uang di daerah meningkat, sehingga dampak ekonomi tidak hanya terpusat di kota besar, tetapi juga menyebar ke desa-desa.
Kehadiran restoran, kafe, dan hotel dalam program MBG tidak dapat dipandang sebagai ancaman bagi UMKM. Justru sebaliknya, keterlibatan berbagai pihak memperlihatkan bahwa kebutuhan penyediaan makanan bergizi dalam jumlah besar tidak bisa ditangani satu sektor saja.
UMKM tetap menjadi prioritas dalam rantai pasok, sementara pelaku usaha besar berperan sebagai penguat kapasitas produksi. Jika sinergi ini dikelola dengan baik, program MBG dapat menjadi motor ganda: memperbaiki status gizi masyarakat sekaligus memperkuat fondasi ekonomi UMKM Indonesia.
RA/NS



