Akselerasi Sertifikasi Halal UMKM: Digitalisasi dan Integritas Menuju Indonesia Pusat Industri Halal Dunia
Jumat, 11 Juli 2025 | 08:00 WIB

LINK UMKM - Upaya menjadikan Indonesia sebagai pusat industri halal dunia bukan lagi sekadar wacana, melainkan telah memasuki tahap implementasi konkret. Langkah ini semakin relevan dengan kondisi Indonesia sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia serta dominasi produk makanan dan minuman halal dalam struktur usahanya. Namun, tantangan serius masih membayangi, terutama dalam hal ketertiban pelaksanaan sertifikasi halal bagi para pelaku UMKM.
Berdasarkan data terbaru, terdapat kontradiksi yang signifikan antara potensi dan posisi Indonesia dalam ekosistem halal global. Meski memiliki lebih dari 60 juta UMKM—di mana sekitar 50% bergerak di sektor kuliner—baru sekitar 2,4 juta pelaku usaha yang telah memperoleh sertifikat halal. Padahal, sejumlah perusahaan Indonesia masuk dalam daftar 20 besar produsen produk halal dunia. Ketimpangan ini mengindikasikan masih rendahnya tingkat kepatuhan dan akses terhadap proses sertifikasi halal.
Guna menjawab tantangan tersebut, pemerintah menggagas target ambisius untuk mendorong percepatan sertifikasi halal hingga tujuh juta produk pada akhir tahun 2025. Strategi utama yang diambil adalah akselerasi penerbitan hingga 10 ribu sertifikat halal setiap hari. Pendekatan ini tidak hanya mengandalkan kapasitas administratif semata, tetapi juga menekankan pentingnya kolaborasi multisektor—khususnya antara pelaku usaha, pemerintah, dan lembaga pemeriksa halal—dalam menciptakan sistem yang transparan dan terintegrasi.
Salah satu inovasi strategis yang didorong adalah digitalisasi penuh dalam proses sertifikasi halal. Sistem digital dinilai mampu memfasilitasi pendaftaran, pemeriksaan, hingga penetapan keputusan kehalalan secara real-time. Keunggulan ini menciptakan efisiensi proses sekaligus memperkecil kemungkinan miskomunikasi antar pemangku kepentingan. Selain itu, sistem digital memungkinkan setiap pihak mengetahui secara persis tahapan proses dan kendala yang mungkin terjadi di dalamnya.
Teknologi lanjutan seperti kecerdasan buatan (AI) dan blockchain juga mulai diperhitungkan dalam mendukung proses verifikasi kehalalan bahan baku. Teknologi ini memungkinkan pelacakan asal-usul bahan secara rinci, sehingga memperkuat dimensi kehalalan dari hulu ke hilir. Integrasi teknologi ini berpotensi menyederhanakan proses pemeriksaan dan mengurangi beban administrasi yang kerap menjadi hambatan bagi pelaku UMKM.
Meski demikian, keberhasilan sistem ini tidak hanya bergantung pada teknologi. Faktor integritas tetap menjadi fondasi utama yang menentukan keberlanjutan ekosistem halal. Setiap pemangku kepentingan diharapkan menjunjung tinggi nilai kejujuran, tanggung jawab moral, serta komitmen menjaga amanah. Tanpa integritas, kepercayaan terhadap sertifikasi halal akan terkikis, dan upaya menjadikan Indonesia sebagai pemimpin halal global pun akan sulit tercapai.
Dengan kombinasi antara digitalisasi proses, percepatan kebijakan, serta budaya integritas yang kuat, peluang Indonesia untuk menjadi pusat industri halal global semakin terbuka. Misi ini bukan lagi sekadar slogan, melainkan visi bersama yang membutuhkan kontribusi aktif dari seluruh pelaku UMKM demi mencapai keberhasilan kolektif.
***
ALP/NS



