Pajak UMKM di Marketplace: Antara Keadilan Fiskal dan Tantangan Digitalisasi
Senin, 7 Juli 2025 | 08:00 WIB

LINK UMKM - Kebijakan pemerintah untuk mulai memberlakukan pemungutan pajak atas penjualan yang dilakukan melalui platform perdagangan digital telah memicu berbagai reaksi dari pelaku usaha dan pengamat ekonomi. Rencana tersebut menargetkan pelaku usaha dengan omzet tahunan antara Rp500 juta hingga Rp4,8 miliar, dengan tarif pungutan sebesar 0,5 persen dari pendapatan penjualan.
Mewujudkan Kesetaraan Fiskal di Era Ekonomi Digital
Dari sudut pandang teori keadilan fiskal (fiscal equity), langkah ini dinilai sebagai upaya untuk menyamakan perlakuan antara pelaku usaha konvensional dan digital. Dalam praktiknya, pelaku usaha yang beroperasi secara fisik telah lama diwajibkan membayar pajak, sementara banyak pelaku digital, khususnya pelaku UMKM di platform daring, masih berada di luar jangkauan regulasi formal.
Pengamat ekonomi menilai bahwa kesenjangan ini berisiko menciptakan distorsi pasar dan ketimpangan kompetisi. Oleh karena itu, regulasi perpajakan yang menjangkau pelaku usaha daring dianggap sebagai langkah logis dalam menata ulang struktur fiskal nasional agar lebih adil dan inklusif.
Platform Digital sebagai Pemungut Pajak: Peluang atau Beban Tambahan?
Dalam skema yang dirancang pemerintah, tanggung jawab pemungutan dan pelaporan pajak diserahkan kepada penyedia platform digital. Model ini didasarkan pada konsep tax collection at source, di mana pihak ketiga ditunjuk untuk mengoptimalkan kepatuhan dan memperkecil potensi pelanggaran administratif.
Namun, implementasi kebijakan ini memunculkan tantangan baru. Penyesuaian sistem digital, peningkatan beban operasional, hingga potensi penurunan minat pelaku usaha kecil menjadi faktor yang perlu diperhitungkan secara seksama. Apabila tidak dibarengi dengan insentif atau kemudahan administratif, platform lokal berpotensi mengalami tekanan kompetitif, terutama jika dibandingkan dengan entitas asing yang belum tunduk pada aturan serupa.
Risiko terhadap UMKM: Margin Tipis, Beban Berat
Pelaku UMKM di sektor digital, khususnya mereka yang berada pada fase awal usaha, berisiko terdampak langsung oleh kebijakan ini. Margin keuntungan yang tipis dan kapasitas administratif yang terbatas menjadi dua tantangan utama. Berdasarkan prinsip compliance cost theory, beban kepatuhan yang tinggi pada usaha kecil dapat mengakibatkan efek balik berupa penurunan aktivitas usaha atau bahkan keluarnya pelaku dari ekosistem digital.
Pengalaman negara lain menunjukkan bahwa pengenaan pajak digital tanpa edukasi yang memadai berujung pada resistensi tinggi dan menurunnya partisipasi pelaku UMKM terhadap platform daring. Oleh sebab itu, strategi pelaksanaan kebijakan ini perlu disertai dengan pendekatan bertahap, dukungan teknis, serta sosialisasi menyeluruh.
Dampak dan Potensi: Pemerintah, Platform, dan Pelaku Usaha
Dari sisi pemerintah, kebijakan ini berpotensi meningkatkan penerimaan negara yang dapat dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur, pendidikan, serta program pemberdayaan UMKM itu sendiri. Bagi platform digital, keberadaan regulasi yang jelas dapat memperkuat kepastian hukum serta membuka peluang insentif fiskal apabila dilibatkan aktif dalam mekanisme pemungutan.
Sementara itu, bagi pedagang yang telah memenuhi syarat legalitas dan administrasi, kepatuhan terhadap pajak bisa menjadi jalan masuk untuk mendapatkan akses ke berbagai fasilitas publik, seperti pembiayaan, pelatihan kewirausahaan, hingga kemudahan pengurusan legalitas usaha.
Namun demikian, jika tidak disertai sistem perpajakan yang ramah terhadap skala mikro dan kecil, serta proses administrasi yang sederhana dan transparan, kekhawatiran terbesar tetap terletak pada kemungkinan berkurangnya insentif pelaku UMKM untuk terus aktif di ekosistem digital.
Pajak UMKM Digital Butuh Pendekatan Inklusif
Penerapan kebijakan pajak terhadap pelaku usaha di platform digital adalah keniscayaan di era ekonomi berbasis teknologi. Namun, agar tidak menghambat transformasi digital UMKM, kebijakan ini perlu dirancang secara inklusif, transparan, dan adaptif terhadap realitas operasional di lapangan.
Dengan pendekatan bertahap, edukatif, dan berbasis dukungan, kebijakan ini justru dapat menjadi alat akselerasi integrasi UMKM ke dalam sistem formal ekonomi nasional—bukan sebagai beban, tetapi sebagai peluang untuk naik kelas dan berdaya saing di pasar yang lebih luas.
***
ALP/NS



