Konsep ESG Dinilai Belum Relevan Bagi Pelaku UMKM, Perlu Pendekatan Lokal yang Lebih Nyata
Minggu, 18 Mei 2025 | 08:00 WIB

LINK UMKM - Di tengah maraknya dorongan global untuk menerapkan prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG) dalam dunia usaha, pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di Indonesia justru masih jauh dari jangkauan wacana tersebut. Meskipun ESG telah menjadi agenda besar di berbagai korporasi dan forum internasional, konsep ini dinilai belum menyentuh secara nyata kebutuhan dasar UMKM di berbagai daerah.
Berdasarkan data pemerintah dan lembaga terkait, pada 2023 jumlah pelaku UMKM di Indonesia mencapai sekitar 66 juta, dengan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 61 persen atau senilai lebih dari Rp9.500 triliun. Sektor ini juga menyerap sekitar 117 juta tenaga kerja, menjadikannya tulang punggung ekonomi nasional. Namun, dalam praktiknya, sebagian besar pelaku UMKM belum mengenal apalagi menerapkan prinsip ESG dalam kegiatan usahanya.
Temuan di lapangan menunjukkan adanya kesenjangan besar antara narasi ESG di tingkat nasional dan realitas UMKM di daerah. Sementara dunia usaha besar tengah fokus pada isu dekarbonisasi, netralitas karbon, dan pelaporan keberlanjutan, para pelaku usaha mikro masih disibukkan dengan persoalan mendasar seperti keterbatasan modal, stagnasi produk, pemasaran digital yang belum optimal, dan keterbatasan akses internet. Di beberapa desa wisata, bahkan jaringan telekomunikasi belum memadai, sehingga membuat digitalisasi usaha masih sulit dijalankan.
Dalam kondisi tersebut, program pembinaan yang disediakan pemerintah sering kali belum menjawab tantangan nyata yang dihadapi pelaku UMKM. Pelatihan-pelatihan kewirausahaan kerap tidak berkesinambungan dan terhenti di tengah jalan karena keterbatasan anggaran. Sementara itu, standar ESG seperti penggunaan bahan ramah lingkungan atau sertifikasi berkelanjutan dianggap terlalu mahal dan sulit dijangkau, sehingga justru menambah beban baru bagi pelaku usaha kecil.
Padahal, prinsip keberlanjutan sejatinya telah dijalankan oleh banyak pelaku UMKM tanpa label ESG. Di Subang, misalnya, sejumlah pengrajin lokal telah memanfaatkan limbah tempurung kelapa menjadi produk kerajinan tangan bernilai ekonomi tinggi. Praktik semacam ini mencerminkan semangat ekonomi sirkular, meski tidak tercantum dalam laporan keberlanjutan manapun.
Berangkat dari situasi tersebut, sejumlah pengamat menilai bahwa konsep ESG perlu dimaknai ulang agar lebih relevan dan memberdayakan. Pendekatan yang berbasis komunitas, kontekstual dengan kondisi lokal, serta disesuaikan dengan kebutuhan pelaku UMKM dinilai jauh lebih efektif. ESG tidak seharusnya menjadi standar eksklusif, melainkan menjadi alat yang memampukan UMKM untuk tumbuh lebih sehat, inklusif, dan adil.
***
ALP/NS



