Energi Terbarukan Berbasis Komunitas Ciptakan Peluang Ekonomi Rp 10.529 Triliun
Kamis, 30 Mei 2024 | 08:00 WIB
LINK UMKM - Dilansir dari Kompas.com, Studi oleh 350.org dan CELIOS menemukan bahwa energi terbarukan berbasis komunitas dapat memberikan kontribusi ekonomi yang signifikan. Studi ini menunjukkan bahwa energi terbarukan berbasis komunitas dapat menghasilkan tambahan Rp10.529 triliun PDB selama 25 tahun. Hal ini disampaikan oleh Ekonom dan Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira bahwa dampak positif ini termasuk pengurangan kemiskinan hingga lebih dari 16 juta orang dan penciptaan 96 juta peluang kerja di berbagai sektor. Pengembangan energi terbarukan berbasis komunitas dapat menjadi solusi untuk menurunkan tingkat pengangguran di daerah.
Bhima memandang komitmen Just Energy Transition Partnership (JETP) sebagai peluang besar untuk mendanai pengembangan energi terbarukan berbasis komunitas. Ia memperkirakan bahwa alokasi 50% dari dana JETP senilai 20 miliar dollar AS untuk skema ini dapat menghasilkan kapasitas energi terbarukan sebesar 2,18 GW. Kapasitas ini setara dengan 3,3 unit PLTU sekelas Cirebon-1 yang memiliki daya 660 MW.
Lebih lanjut, Bhima menekankan bahwa energi terbarukan berbasis komunitas bukan hanya menawarkan solusi energi yang bersih dan berkelanjutan, tetapi juga dapat membantu mengurangi kesenjangan antar wilayah dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif. Kajiannya menunjukkan bahwa selama 20 tahun implementasi, skema ini dapat menurunkan tingkat ketimpangan dari 0,74 menjadi 0,71.
Firdaus Cahyadi, pemimpin tim interim 350.org Indonesia, mengkritik kebijakan transisi energi di Indonesia yang terjebak dalam "narasi tunggal" yang condong ke arah pengembangan energi terbarukan skala besar. Menurutnya, narasi ini terlihat jelas dalam dokumen Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) JETP yang diluncurkan pada November 2023.
Firdaus menduga bahwa "narasi tunggal" ini tidak terlepas dari pengaruh kuat lembaga-lembaga bisnis bantuan internasional seperti Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ), ADB, dan Bank Dunia. Dia melihat bahwa fokus pada pengembangan energi terbarukan skala besar berpotensi menjerumuskan Indonesia ke dalam jebakan utang luar negeri melalui skema pendanaan JETP. Dominasi lembaga-lembaga ini terlihat jelas dalam setiap kelompok kerja JETP.
Transisi energi di Indonesia harus dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai perspektif dan kepentingan. Dominasi "narasi tunggal" dari pihak-pihak tertentu perlu diwaspadai agar tidak mengarah pada praktik yang tidak adil dan merugikan.
***
FF/NAH