Pengalaman Beda Negara, Beda Pula Cuaca dan Musimnya
Selasa, 7 Juni 2022 | 14:01 WIB
LINK UMKM - Beda negeri beda kebiasaan termasuk saat menyikapi kondisi cuaca. Orang dari negara dua musim beda dengan yang dari empat musim, apa beda wartawan Asia Tenggara dan wartawan bule saat harus makan di bawah terik matahari?
Pengalaman beberapa kali mendapat penugasan peliputan ke luar negeri tak jarang memberi pengalaman yang menarik dan unik. Pada saat itulah, penulis bisa bertemu dan mengenal banyak orang dengan beragam latar belakang bahasa, budaya, serta kebiasaan masing-masing.
Dalam interaksi dengan mereka, terkadang saya menjumpai pengalaman yang tak disangka-sangka atau tak terbayangkan sebelumnya.
Salah satunya ketika mengikuti rangkaian acara Delhi Dialogue VI, 6-7 Maret 2014. Dari 10 negara ASEAN, antara lain Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Thailand, Kamboja, dan Filipina, ada 20 wartawan yang diundang Kementerian Luar Negeri (Kemlu) India untuk meliput acara ini.
Kami diajak mengikuti serangkaian kegiatan yang digelar di ibu kota New Delhi, selain menghadiri sejumlah agenda pertemuan lainnya. Beberapa pertemuan dan seminar itu juga diikuti peserta dari kalangan diplomat, akademisi, serta lembaga-lembaga think tank asal Negeri Hindustan dan negara-negara lainnya.
Pada waktu rangkaian acara itu digelar, India sedang memasuki peralihan dari musim dingin ke musim panas. Suhu udaranya sejuk bahkan saat tengah hari ketika matahari bersinar terik. Kisarannya 17 hingga 20 derajat Celcius.
Meski sinar matahari menyengat, tetapi tidak sampai membuat gerah lantaran kelembaban udaranya juga rendah, jauh lebih rendah dari Jakarta.
Beberapa orang dari Kemlu India, terutama mereka yang mendampingi rombongan wartawan, bercerita kalau suhu dan cuaca seperti itulah yang paling disukai masyarakat setempat. Banyak dari mereka keluar rumah untuk sekadar berjemur dan menikmati cahaya matahari yang berlimpah.
Kondisi ini juga dimanfaatkan penyelenggara. Sejumlah kegiatan kemudian kerap diadakan di luar ruang, termasuk acara istirahat dan makan siang yang ditunggu-tunggu peserta. Pihak tuan rumah menggelar acara lunch break di halaman belakang gedung tempat pertemuan, yang lumayan luas.
Di sana ditempatkan meja-meja saji dan lapak makanan (food stall) yang menyajikan beragam hidangan, mulai dari makanan India, Asia, hingga barat atau Eropa. Para tamu bebas mendatangi satu per satu lapak. Walaupun hanya sekadar mencicipi makanan dan minuman yang dihidangkan.
Sejumlah kursi lipat ditata di salah satu sudut taman yang terbuka alias tanpa tenda. Ini beda dengan kebiasaan di Indonesia, di mana acara luar ruang, seperti pesta pernikahan dan khitanan, biasanya masih tetap menyediakan tenda untuk menaungi tamu.
Jadilah acara makan siang itu, benar-benar bermandikan cahaya mentari India. Untung saja tidak terlalu menyengat. Sejumlah peserta yang merupakan orang lokal dan asal Eropa alias bule, tampak sangat menikmati perjamuan ala pesta kebun itu. Mereka menyebar ke berbagai area di taman lalu membentuk kelompok kecil-kecil.
Sambil berdiri, mereka asyik berbincang satu sama lain sembari menyantap makanan. Suasananya seperti standing party. Tampak akrab dan meriah.
Pemandangan itu tampak kontras dengan keberadaan para wartawan asal negara-negara ASEAN. Tanpa ada yang mengomando, kami menuju satu sudut, yakni di bawah naungan pohon besar nan rindang. Sudah jelas tujuannya, ngadem! Sama-sama makan sambil berdiri dan mengobrol. Bedanya, tempat kami teduh.
Salah seorang tuan rumah sempat menghampiri dan mengajak kami agar ikut berbaur bersama para tamu lainnya. Kalau dilihat sekilas memang terkesan rombongan kami seolah tak mau berbaur dan bergaul dengan para tamu undangan lain.
Akan tetapi persoalannya bukan itu. Salah satu wartawan asal Thailand, Pratruangkrai Petchanet, mengaku bukannya tak ingin ikut berbincang dengan para tamu lain atau juga tuan rumah.
Masalahnya, dia mengaku tak terlalu suka kalau harus berpanas-panasan di bawah terik sinar matahari, apalagi ditambah harus makan sambil berdiri. Ada sih kursi-kursi yang bisa digunakan untuk makan sambil duduk. Hanya saja, lokasinya berada di area terbuka yang panas.
Wartawan salah satu surat kabar besar di Negeri Gajah Putih itu juga berkelakar, kalau sekadar berjemur di bawah sinar matahari saja dia tak perlu jauh-jauh datang ke India.
"Saya kira cahaya matahari di negara-negara kita yang ada di sekitar khatulistiwa pastinya bisa dinikmati setiap hari. Mungkin buat mereka yang tinggal di negara empat musim, cahaya matahari hanya banyak dan bisa dinikmati di musim tertentu," ujarnya saat itu.
Pendapat senada juga diungkapkan May Caraballo, peserta asal Filipina, yang diamini beberapa rekan wartawan lain asal Malaysia dan Brunei Darussalam. Jadi sebenarnya, memilih berada di bawah naungan bayang-bayang pohon tinggi dan rindang itu adalah sesuatu yang normal buat kami.
Semuanya ingin menghindari terik matahari karena di negara asal masing-masing sinar matahari berlimpah dan dijumpai hampir sepanjang tahun.
Beda dengan mereka dari negara empat musim yang menikmati berjemur di bawah sinar matahari terik, termasuk sambil makan minum dan mengobrol. Justru hal itu yang tak biasa bagi kami. Unik juga jika melihat perbedaan ini.
Yang jelas, semua peserta asal negara-negara ASEAN punya kebiasaan dan cara pikir yang serupa. Kalau cuaca panas, ya, cari tempat teduh buat ngadem lah, Mister. Ha-ha-ha. ***