Usaha Minyak Jelantah Bisa Capai Omzet Ratusan Juta
Selasa, 27 April 2021 | 16:00 WIB
LINK UMKM - Di masa Ramadan seperti saat ini, penjualan gengan diperkirakan meningkat. Alasannya, banyak pedagang gengan untuk berbuka mulai bergeliat.
Tapi, minyak geng yang digunakan di pedagang kaki lima sering kali sudah melalui pemanasan berulang, sehingga membahayakan kesehatan.
Di sisi lain, minyak geng bekas pakai atau minyak jelantah punya nilai ekonomi yang tinggi, jika dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan bahan bakar biodiesel.
Yang lebih menggiurkan, omzet usaha dari minyak jelantah ini bisa mencapai ratusan juta rupiah, tetapi belum banyak ang yang memanfaatkan limbah dapur ini untuk industri biodiesel.
Andi Hilmi adalah salah satu pengusaha yang mampu melihat peluang tersebut, bahkan sejak ia masih sekolah di jenjang SMA. Milenial asal Makassar ini mempunyai usaha biodiesel berskala industri bernama GenOil.
Dia terpikir untuk membuat biodiesel dari minyak jelantah karena melihat ketika itu terjadi kelangkaan BBM yang hampir merata di Indonesia. Tak jauh dari kotanya, banyak nelayan tak bisa melaut, karena tak kebagian bahan bakar.
Dia berusaha mencari pengganti energi terbarukan agar bisa digunakan oleh para nelayan. Prinsip saya, karya yang kita buat harus sesuai dengan kebutuhan pada saat itu. Ketika itu, biodiesel bisa menjawab masalah kelangkaan bahan bakar yang mengancam kedaulatan energi di masa mendatang.
Untuk menjalin jejaring, dia pernah bergabung dengan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), dimana tujuan Andil untuk mencari teman-teman yang memiliki visi serupa.
Dia bercerita, di himpunan itu dia berharap ada yang mau membangun bersama-sama. Hingga akhirnya dia menemukan teman yang percaya kepadanya.
Pada fum-fum tersebut, Andi mendapatkan banyak teman dari luar negeri. Andi mendapatkan banyak insight dari pengalaman teman-teman barunya. Tak sedikit pula teman dari negara asing itu yang kemudian menawarkan berbagai bentuk kerja sama.
Suatu kali dia kesulitan mendapat jelantah, karena adanya mafia yang mengumpulkan jelantah untuk dipakai ulang. Ia lalu mempelajari model bank sampah.
Meski begitu, untuk membuat bank minyak jelantah yang ideal, diperlukan biaya tidak sedikit dan Andi mengajak perusahaan besar untuk bekerja sama membuat bank minyak jelantah. Banyak perusahaan besar berskala nasional dan multinasional yang tertarik, karena mereka bisa menerapkan CSR, sekaligus mendapat ruang untuk branding.
Dia juga membuat bank sampah di sekitar 20 sekolah, menyasar 500 siswa yang berarti membidik 500 rumah tangga. Setiap tiga hari mereka mengumpulkan segelas jelantah dalam wadah yang bisa dipakai ulang.
Edukasi soal bahaya minyak geng daur ulang dilakukan oleh Andi dan timnya. Menurut timnya, ketika memasak, sebetulnya hanya 30 persen minyak geng yang terserap, sisanya menjadi limbah.
Oleh karena itu, pihaknya mengajak masyarakat menabung minyak jelantah yang nantinya tabungan minyak jelantah ini ditukar dengan minyak geng baru.
Andi juga mengedukasi nelayan yang awalnya enggan menggunakan biodiesel karena warnanya berbeda dari solar, sehingga mereka khawatir kapal jadi rusak. Andi memastikan, selain harganya lebih murah daripada solar, biodiesel juga tidak akan merusak mesin kapal. Tidak hanya membangun bisnis bersama lima teman, dia juga merekrut lebih dari dua puluh mantan preman untuk bantu mencari bahan baku.
Selain itu, dia juga memberdayakan masyarakat untuk mengumpulkan jelantah dan memberi upah berdasarkan sistem profit sharing. Setiap satu kilogram jelantah, Andi memberi Rp1.000.
RZ/QQ