Kebijakan Izin Tambang untuk UMKM: Peluang atau Potensi Risiko Besar?
Rabu, 9 April 2025 | 11:00 WIB

LINK UMKM - Pemerintah baru saja memberikan izin bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) untuk ikut mengelola lahan pertambangan, baik itu mineral maupun batu bara. Keputusan tersebut tercantum dalam revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba) yang baru saja disahkan oleh DPR pada 18 Februari 2025. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, menjelaskan bahwa kebijakan ini bertujuan untuk memperbaiki tata kelola pertambangan di Indonesia dengan memberikan kesempatan kepada berbagai pihak, termasuk UMKM, organisasi masyarakat, koperasi, dan badan usaha keagamaan, untuk terlibat dalam pengelolaan sumber daya alam.
Namun, kebijakan ini mendapat perhatian luas dari berbagai pihak, terutama dari pengamat ekonomi dan sektor pertambangan. Beberapa di antaranya mempertanyakan apakah UMKM benar-benar siap untuk mengelola bisnis tambang yang penuh dengan risiko dan tantangan. Bahlil menegaskan bahwa izin usaha pertambangan (IUP) hanya akan diberikan kepada UMKM lokal yang berada di wilayah sekitar lahan tambang. Ini bertujuan untuk memastikan pemerataan ekonomi di daerah-daerah penghasil tambang.
Menurut Bahlil, selama ini banyak UMKM yang tidak diperhatikan dalam pengelolaan tambang di wilayah mereka. Sebagian besar izin tambang justru dimiliki oleh perusahaan yang berpusat di Jakarta, sehingga kebijakan ini diharapkan bisa mengembalikan kekayaan alam ke tangan masyarakat lokal.
Sementara itu, peraturan terkait kriteria UMKM yang berhak mendapatkan izin tambang masih dalam pembahasan. Menurut Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, Tri Winarno, ada tiga aspek utama yang harus dipenuhi oleh UMKM untuk mendapatkan izin tambang: aspek teknis, ekonomi, dan lingkungan. Aspek teknis mencakup pemenuhan administrasi yang diperlukan, sementara aspek ekonomi memastikan bahwa UMKM memiliki modal dan kapabilitas untuk menjalankan usaha ini. Aspek lingkungan juga sangat penting, mengingat dampak besar yang bisa timbul dari aktivitas pertambangan.
Namun, meski kebijakan ini menawarkan peluang bagi UMKM, beberapa pengamat mempertanyakan manfaatnya. Yayan Satyakti, seorang pengamat ekonomi energi dari Universitas Padjajaran, menilai bahwa mengelola tambang bukanlah hal yang mudah dan penuh dengan risiko tinggi. Bahkan, untuk mengelola tambang emas dan tembaga saja, dibutuhkan dana investasi yang sangat besar, yaitu sekitar USD 200 juta hingga USD 350 juta, atau sekitar Rp 3,24 triliun hingga Rp 5,67 triliun. Biaya operasional yang tinggi, serta risiko yang ada, membuat hanya perusahaan besar yang biasanya mampu mengelola tambang dengan baik.
Yayan juga menyoroti masalah biaya tinggi yang terkait dengan pertambangan, seperti biaya ekskavasi, keselamatan kerja (K3), dan penerapan prinsip-prinsip pertambangan yang baik (good mining practices). Jika tidak dikelola dengan profesional, risiko-risiko ini bisa menambah beban bagi UMKM dan berpotensi menambah jumlah kredit macet yang dapat membebani sektor perbankan.
Selain itu, Nailul Huda, Direktur Ekonomi Center for Economic and Law Studies (Celios), menyarankan agar pemerintah terlebih dahulu memastikan apakah UMKM benar-benar memiliki kapasitas untuk mengelola dampak sosial dan lingkungan yang ditimbulkan oleh kegiatan pertambangan. Huda menekankan pentingnya aspek pengelolaan limbah tambang, manajemen risiko, dan kesiapan UMKM untuk menyelesaikan potensi konflik yang mungkin terjadi di lapangan. Ia juga mengingatkan agar UMKM yang memperoleh izin benar-benar milik masyarakat setempat, dan bukan hanya perusahaan besar yang menyamarkan identitasnya sebagai UMKM.
Melihat banyaknya tantangan ini, Huda menyarankan agar pemerintah menetapkan kriteria yang jelas dan ketat dalam Peraturan Pemerintah (PP) yang akan disusun, termasuk memastikan bahwa UMKM yang mengelola tambang sudah memiliki kemampuan dalam hal pengelolaan limbah dan manajemen risiko yang baik. Pemerintah juga diminta untuk memikirkan bagaimana menjaga keberlanjutan usaha tambang di tangan UMKM, sehingga tidak hanya menguntungkan dalam jangka pendek, tetapi juga dapat mempertahankan keberlanjutan lingkungan dan sosial di masa depan.
Dengan begitu banyaknya pertimbangan, kebijakan pemberian izin tambang kepada UMKM memang memiliki potensi untuk memberikan dampak positif bagi ekonomi lokal dan pemerataan sumber daya alam. Namun, risiko-risiko besar yang menyertainya, baik dari segi keuangan, lingkungan, maupun sosial, perlu dipertimbangkan dengan hati-hati. Pemerintah perlu memastikan bahwa UMKM yang diberikan izin benar-benar siap dan dapat memenuhi kriteria yang ditetapkan untuk menjamin keberhasilan kebijakan ini dalam jangka panjang.
***
ALP/NS