Royalti Musik di Tempat Usaha: Apa yang Perlu Diketahui dan Dilakukan UMKM
Rabu, 13 Agustus 2025 | 08:00 WIB

LINK UMKM - Isu pembayaran royalti atas pemutaran lagu dan musik di ruang usaha kembali menjadi sorotan publik. Mulai dari media sosial hingga pemberitaan nasional, topik ini memunculkan perdebatan hangat. Sebagian warganet mempertanyakan kewajiban tersebut, terutama setelah muncul penjelasan bahwa bahkan suara burung yang direkam bisa termasuk karya yang dilindungi hak cipta. Bagi pelaku usaha, khususnya UMKM, kebijakan ini menimbulkan pertanyaan besar: seberapa penting membayar royalti, dan bagaimana cara menyesuaikannya tanpa memberatkan keuangan usaha?
Latar Belakang Kebijakan
Undang-Undang Hak Cipta No. 28 Tahun 2014 menetapkan bahwa pemanfaatan lagu dan musik di ruang publik merupakan hak ekonomi pencipta dan pemilik hak terkait. Artinya, siapa pun yang memutarkan lagu untuk tujuan komersial wajib meminta izin dan membayar royalti. Sistem ini dikelola oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) sebagai koordinator, dibantu Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) yang mengurus distribusi royalti kepada pencipta.
Dengan perkembangan teknologi, pelaku usaha kini banyak memutar musik dari layanan streaming. Namun, langganan pribadi seperti Spotify atau YouTube Premium tidak memberikan hak pemutaran komersial. Lisensi tambahan melalui LMKN diperlukan, dan biaya yang dibayarkan akan disalurkan kepada pencipta lagu.
Rangkaian Aturan yang Berlaku
Sejak 2014, berbagai regulasi mengatur mekanisme ini. UU Hak Cipta memperkuat perlindungan hak ekonomi, disusul Kepmenkumham 2016 yang mengatur tarif, PP No. 56 Tahun 2021 yang mempertegas kewajiban bagi 14 jenis usaha (termasuk restoran, kafe, toko, dan pameran), serta Permenkumham 2022 yang merinci prosedur perizinan. Untuk UMKM, tersedia opsi keringanan tarif sesuai kapasitas usaha.
Tarif Royalti untuk Usaha UMKM
Berdasarkan SK Menteri Hukum dan HAM, tarif royalti untuk restoran atau kafe adalah Rp 120.000 per kursi per tahun (gabungan hak pencipta dan hak terkait). Perhitungan didasarkan pada kursi efektif yang terisi rata-rata, sehingga pemilik usaha dapat menyesuaikan besaran tarif dengan tingkat okupansi sebenarnya.
Sebagai contoh, rumah makan dengan 20 kursi yang efektif terisi 10 kursi per hari hanya perlu membayar Rp 1,2 juta per tahun. Jika omzet tahunan mencapai Rp 750 juta dan margin laba 30%, royalti ini setara 1% dari laba bersih atau 0,2% dari omzet—proporsi yang dinilai cukup kecil dibanding manfaat musik dalam menciptakan suasana usaha.
Pro dan Kontra
Pendukung kebijakan menilai royalti adalah bentuk penghargaan terhadap pencipta lagu, memberikan transparansi perizinan, dan memperkuat ekosistem musik. Tarif di Indonesia bahkan disebut salah satu yang terendah di dunia.
Sebaliknya, penentang menilai kebijakan ini menjadi beban tambahan, terutama bagi Sobat LinkUMKM dengan pendapatan tidak menentu. Ada juga keluhan dari musisi kafe yang honornya dipotong akibat biaya royalti. Di sisi lain, rumitnya pelaporan penggunaan lagu dinilai memberatkan pelaku usaha, sementara minimnya laporan log penggunaan lagu membuat distribusi royalti belum sepenuhnya merata.
Langkah yang Dapat Dilakukan UMKM
Pelaku usaha yang ingin mematuhi aturan dapat:
- Mendaftar lisensi melalui LMKN dan LMK resmi.
- Menghitung kursi efektif atau luas ruangan sesuai tabel tarif resmi.
- Mengajukan keringanan tarif jika omzet atau okupansi rendah.
- Menggunakan musik bebas royalti atau karya sendiri untuk kegiatan kecil.
- Berkonsultasi dengan ahli hukum agar terhindar dari sanksi.
Bagi Sobat LinkUMKM, memahami dan mematuhi aturan royalti bukan sekadar kewajiban hukum, tetapi juga bentuk dukungan terhadap para seniman yang karyanya memperkaya pengalaman pelanggan. Dengan memanfaatkan skema keringanan dan perhitungan yang proporsional, pelaku usaha dapat tetap memutar musik secara legal tanpa mengorbankan stabilitas keuangan. Kebijakan ini, jika dijalankan dengan bijak, dapat menjadi titik temu antara keberlangsungan usaha dan penghargaan terhadap kreativitas.
RA/NS



