Hilirisasi Kakao di Sulawesi Tengah Dorong UMKM Naik Kelas dan Perluas Peluang Usaha Baru

Selasa, 5 Agustus 2025 | 12:00 WIB

Kepala Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Sulawesi Tengah.

LINK UMKM - Upaya hilirisasi komoditas kakao di Sulawesi Tengah terus diperkuat sebagai strategi jangka panjang untuk meningkatkan peran pelaku UMKM dalam rantai nilai industri kakao nasional. Pendekatan ini dikembangkan melalui model klasterisasi yang terintegrasi dari hulu ke hilir, dengan menempatkan UMKM sebagai pelaku utama dalam menciptakan nilai tambah di sektor agribisnis.

Secara nasional, produksi kakao Indonesia mencapai sekitar 641 ribu ton per tahun, dan Sulawesi Tengah menyumbang lebih dari 146 ribu ton di antaranya. Fakta ini menjadikan wilayah tersebut sebagai kawasan prioritas untuk implementasi hilirisasi berbasis UMKM. Pemerintah mengidentifikasi potensi ini sebagai peluang untuk membangun ekosistem usaha yang inklusif dan berbasis sumber daya lokal.

Pemerintah menyatakan bahwa hilirisasi tidak hanya berorientasi pada peningkatan produksi, tetapi juga menyasar konsolidasi kelembagaan, pembiayaan, dan pengelolaan lahan secara legal dan terintegrasi. Pendekatan ini diwujudkan melalui konsep holding UMKM, yang menghubungkan petani, pelaku usaha kecil, dan lembaga keuangan dalam satu kerangka kerja kolaboratif yang berkelanjutan. Strategi ini sekaligus ditautkan dengan program reforma agraria untuk memperkuat kepemilikan dan kepastian hukum atas lahan produktif.

Secara sistematis, program ini juga melibatkan pengelolaan lahan eks-HGU dan tanah-tanah terlantar yang saat ini telah memperoleh hak pengelolaan di tiga kabupaten, yakni Poso, Sigi, dan Parigi Moutong. Dari total lahan yang telah dikuasai, sekitar 1.550 hektare di Kabupaten Poso disiapkan untuk mendukung program reforma agraria berbasis tanaman kakao. Pemerintah menegaskan bahwa pengelolaan ini tidak mengambil alih lahan masyarakat, melainkan ditujukan untuk memberikan akses legal bagi petani dan pelaku UMKM yang selama ini terkendala aspek legalitas.

Dari sisi tantangan, produktivitas kakao nasional dinilai menurun akibat banyaknya tanaman tua yang belum diremajakan. Oleh karena itu, salah satu agenda utama dalam hilirisasi adalah replanting tanaman kakao dengan varietas unggul yang lebih adaptif dan bernilai ekonomi tinggi. Dalam konteks ini, pengelolaan lahan secara legal menjadi pintu masuk penting agar program replanting dapat dilaksanakan secara sistematis dan terukur.

Dampak ekonomi dari hilirisasi kakao dinilai memiliki potensi efek berantai (trickle-down effect) yang signifikan. Konversi biji kakao menjadi produk turunan seperti cokelat bubuk, permen cokelat, atau produk olahan lainnya dapat meningkatkan nilai tambah hingga 100 kali lipat dari harga bahan mentah. Misalnya, jika harga kakao kering berada di kisaran Rp20.000 per kilogram, maka produk turunannya bisa bernilai jauh lebih tinggi ketika diolah dan dikemas sesuai standar pasar ritel.

Dalam konteks pemberdayaan ekonomi rakyat, hilirisasi kakao di Sulawesi Tengah juga diproyeksikan membuka peluang investasi baru yang dapat mendorong pertumbuhan industri pengolahan skala kecil dan menengah. UMKM lokal diposisikan sebagai tulang punggung proses hilirisasi, mulai dari pengolahan primer, pengemasan, hingga distribusi produk.

Namun demikian, beberapa aset lahan yang dikelola pemerintah hingga kini masih dalam tahap penataan dan belum sepenuhnya dimanfaatkan. Hal ini menyebabkan adanya beban biaya pengelolaan yang cukup besar, meskipun kebutuhan akan pemanfaatan jangka pendek belum mendesak. Pemerintah menyampaikan bahwa proses ini memerlukan waktu, karena seluruh aspek—dari legalitas tanah, kapasitas kelembagaan, hingga akses pasar—perlu disiapkan secara matang agar UMKM benar-benar mampu tumbuh dan berdaya saing dalam industri kakao nasional.

Program hilirisasi kakao di Sulawesi Tengah bukan sekadar proyek komoditas, melainkan fondasi ekonomi kerakyatan yang menempatkan UMKM sebagai aktor utama dalam transformasi agribisnis. Melalui pendekatan ini, diharapkan tumbuh model ekonomi baru yang tidak hanya berkelanjutan, tetapi juga berkeadilan, berakar pada sumber daya lokal, dan mampu meningkatkan kesejahteraan pelaku usaha kecil di kawasan sentra kakao nasional.

***

ALP/NS

Komentar

Media Lainnya

Hi!👋
Linda (Link UMKM Digital Assistant)
Chat via WhatsApp disini !

x