Franchise Etis: Peluang Berkembang Tanpa Eksploitasi bagi UMKM Indonesia

Minggu, 3 Agustus 2025 | 08:00 WIB

Mendag Busan pada peluncuran Program 100 Lisensi Merek dan Produk UMKM Lokal yang berlangsung di Pusat Grosir Cililitan (PGC), Jakarta Timur .

LINK UMKM - Dalam lanskap usaha waralaba di Indonesia, istilah ethical franchising atau waralaba etis mulai mendapatkan perhatian sebagai alternatif model bisnis yang lebih berkelanjutan dan adil. Konsep ini dinilai dapat mengurangi ketimpangan relasi antara pemilik merek dan mitra waralaba, sekaligus memberikan ruang bagi UMKM untuk tumbuh tanpa tekanan yang bersifat eksploitatif.

Transparansi dan Keadilan Jadi Landasan Utama

Sejumlah pelaku usaha menyatakan bahwa waralaba etis umumnya menempatkan transparansi sebagai elemen krusial. Hal ini mencakup keterbukaan informasi terkait biaya awal, potensi pendapatan, hingga risiko operasional. Selain itu, struktur perjanjian waralaba dalam skema etis disebut-sebut lebih adil, karena dirancang untuk menghindari ketimpangan relasi antara pihak pemberi dan penerima waralaba.

Skema ini juga memperhatikan kepentingan mitra usaha, termasuk dalam aspek pelatihan, pendampingan, serta evaluasi performa yang bersifat konstruktif. Dengan pendekatan tersebut, pelaku UMKM dianggap memiliki peluang berkembang yang setara tanpa perlu mengorbankan kendali usaha secara penuh.

Model Bisnis yang Mengutamakan Keberlanjutan

Dari sudut pandang ekonomi mikro, pendekatan waralaba etis dinilai lebih menguntungkan dalam jangka panjang. Pendekatan ini biasanya menghindari sistem komisi berlebihan atau kewajiban pembelian bahan dari satu sumber tunggal dengan harga tinggi, yang selama ini menjadi keluhan umum dalam praktik waralaba konvensional.

Dalam sejumlah studi lapangan, diketahui bahwa model bisnis etis kerap menggunakan skema bagi hasil atau biaya lisensi tetap, yang dinilai lebih bersahabat terhadap cash flow mitra UMKM. Selain itu, adanya perjanjian yang fleksibel dan evaluasi rutin berbasis kinerja memungkinkan mitra tetap kompetitif di tengah dinamika pasar lokal.

Menjawab Tantangan Ketimpangan dalam Dunia Waralaba

Sejumlah pakar menilai bahwa waralaba konvensional masih menyisakan banyak persoalan, seperti dominasi pusat terhadap cabang, kontrol penuh atas harga jual, hingga pengambilan keputusan strategis yang tidak melibatkan mitra. Ethical franchising hadir sebagai koreksi terhadap praktik-praktik tersebut.

Pendekatan etis dianggap lebih adaptif terhadap konteks lokal dan memperhitungkan faktor keberagaman sosial ekonomi. Hal ini relevan dengan situasi UMKM di Indonesia yang sangat beragam dari sisi modal, kapasitas produksi, hingga akses pasar.

Mendorong Pertumbuhan UMKM Secara Inklusif

Dalam konteks pengembangan ekonomi lokal, waralaba etis dipandang sebagai jalan tengah antara pertumbuhan usaha dan nilai-nilai keberlanjutan. Pemerintah pun disebut semakin mendorong model usaha yang menekankan pada kolaborasi, keberagaman, dan keadilan ekonomi, terutama bagi sektor UMKM yang menjadi tulang punggung perekonomian nasional.

Dari sisi pelaku, peluang masuk ke sistem waralaba etis ini memberikan opsi memperluas jaringan tanpa kehilangan identitas usaha. Selain itu, pendekatan ini juga menciptakan hubungan jangka panjang yang saling menguntungkan antara pemberi dan penerima waralaba.

Etical franchising mulai terbukti relevan dengan ekosistem UMKM Indonesia yang membutuhkan dukungan, bukan dominasi. Dalam praktiknya, pendekatan ini mampu mendorong pertumbuhan berbasis kolaborasi dan nilai keberlanjutan, bukan semata-mata profit jangka pendek. Bagi Sobat LinkUMKM yang ingin berkembang melalui model kemitraan, waralaba etis bisa menjadi pilihan strategis yang patut dipertimbangkan secara serius.

***

ALP/NS

Komentar

Media Lainnya

Hi!👋
Linda (Link UMKM Digital Assistant)
Chat via WhatsApp disini !

x