Kementerian Koperasi Ungkap Risiko Merger TikTok dan Tokopedia bagi UMKM
Sabtu, 24 Agustus 2024 | 13:00 WIB
LINK UMKM - Kementerian Koperasi telah menilai bahwa penggabungan TikTok dan Tokopedia, yang dimulai sejak Januari 2024, memberikan dampak negatif bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Indonesia. Penilaian ini didasarkan pada fakta bahwa produk-produk yang tersedia di platform e-commerce hasil merger tersebut masih didominasi oleh barang-barang impor.
Direktur Utama Lembaga Layanan Pemasaran Koperasi dan UKM atau Smesco Indonesia, Wientor Rah Mada, mengungkapkan bahwa akuisisi Tokopedia oleh TikTok tampaknya hanya menguntungkan para pemegang saham. Ia menjelaskan bahwa akuisisi ini telah menyebabkan perubahan signifikan dalam struktur kepemilikan Tokopedia, dengan TikTok, yang dimiliki oleh ByteDance, kini menguasai sebagian besar saham perusahaan tersebut. TikTok dilaporkan kini memegang 75,01 persen saham Tokopedia.
Menurut Wientor, tidak terlihat adanya keuntungan yang diperoleh negara atau UMKM dari merger tersebut. Ia mencatat bahwa meskipun terdapat program "Beli Lokal" yang masih aktif, program ini sering kali memuat produk yang tidak sepenuhnya merupakan produk lokal.
Wientor juga menambahkan bahwa akuisisi ini berdampak buruk terhadap sumber daya manusia di Indonesia, seperti yang terlihat dari pemutusan hubungan kerja (PHK) yang mempengaruhi sekitar 450 karyawan Tokopedia.
Staf Khusus Menteri bidang Pemberdayaan Ekonomi Kreatif Kemenkop UKM, Fiki Satari, mengungkapkan bahwa sebelum akuisisi oleh TikTok, Tokopedia dikenal sebagai platform e-commerce domestik yang sangat aktif dalam mempromosikan produk-produk lokal. Namun, setelah penggabungan tersebut, Fiki mencatat adanya pergeseran fokus. Hal ini ditandai dengan peningkatan praktik penjualan dengan harga sangat rendah (predatory pricing) dan meningkatnya jumlah produk impor yang ditawarkan.
Fiki juga menyoroti bahwa Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 Tahun 2023 mewajibkan platform e-commerce untuk mencantumkan nomor impor resmi pada produk impor yang dijual. Namun, ia mengamati bahwa banyak penjual tidak mematuhi peraturan ini dan mencari cara untuk mengakali sistem. Fiki berharap ke depannya akan ada komite khusus yang dibentuk untuk mengawasi dan memberikan sanksi kepada platform yang tidak mematuhi aturan tersebut.
Hingga Desember 2023, Kemenkop UKM mencatat bahwa sekitar 25 juta pelaku UMKM telah terdaftar di platform e-commerce. Namun, Data Institute for Development of Economic and Finance (Indef) pada tahun 2023 mengungkapkan bahwa sebagian besar pelaku UMKM di e-commerce adalah reseller yang menjual produk impor, khususnya barang habis pakai atau consumer goods. Sekitar 74 persen barang yang dijual di e-commerce dikategorikan sebagai barang impor.
***
NNA