Mengapa Angkringan Kaki Lima Sukses di Pasar
Selasa, 17 Januari 2023 | 08:00 WIB
LINK UMKM - Jika mendengar kata angkringan yang terlintas di kepala saya sekilas adalah ampela. Angkringan, usaha yang sudah lama eksis kembali merebak sejak pandemi hingga sekarang. Banyak sekali angkringan yang terkenal, baik di Yogyakarta, Surabaya, Lampung dan Medan. Mengapa angkringan, usaha kedai kaki lima ini bisa begitu dekat dengan masyarakat?
Dilansir dari kompas.com, pelopor angkringan adalah Eyang Karso Dikromo dari Desa Ngerangan, Klaten. Berawal dari dagangan pikulan tumbu pada 1943, nama angkringan sebelumnya adalah warung hik di Solo. kepopuleran warung hik merambah ke Yogyakarta pada 1950an.
Sejak merambah ke Yogyakarta, lahirlah nama angkringan. Ankringan yang dahulu merupakan dagangan pikulan berubah menjadi dagangan gerobak. Kepopuleran angkringan alkhirnya meluas ke pulau lain seperti Sumatera, Kalimantan, dan lainnya.
Kepopuleran angkringan tidak lepas dari harganya yang murah dan lokasi (tempat) yang nyaman. Saat angkringan diperkenalkan diYogyakarta pada 1950-2000an, mayoritas konsumen adalah pelajar/mahasiswa. Yogyakarta yang dikenal sebagai kota pelajar, membuat usaha angkringan semakin subur dengan pasar yang jelas.
Angkringan bukan hanya tempat makan yang murah namun juga tempat berkumpulnya anak muda. Secara bisnis, segmen anak muda merupakan pasar yang sangat menjanjikan. Daya beli yang masih dalam jangkauan dan kemampuan untuk membeli kembali menjadikan angkringan sulit tergeser di pasar, terutama angkringan yang menjadi tempat tongkrongan. Tidak heran beberapa usaha angkringan bisa menjadi besar meskipun baru beberapa bulan berdiri.
Murah dan lokasi yang nyaman merupakan nilai jual angkringan yang dapat dilihat dari permukaan luar. Nilai jual lebih angkringan terletak pada sinkronikasi tempat dan konsumennya. Angkringan diangga sebagai tempat yang egaliter. Egaliter merupakan persamaan derajat pada setiap manusia. Jika diperhatian, saat berkunjung ke angkringan topik pembicaraan setiap konsumen sangat beragam dimulai dari julid hingga pembicaraan yang intelektual.
Meskipun angkringan merupakan kedai kaki lima, konsumennya sangat beragam dan tidak ada dinding pembatas antar konsumen. Pelanggan dapat saja berkomuniksi dengan pelanggan lain terlepas statusnya. Angkringan merupakan tempat yang memfasilitasi interasi pelanggan dengan konsep kesederhanaannya.
Selain itu, nilai jual terbesar angkringan terletak pada konsumennya yaitu masyarakat suku Jawa. suku Jawa mewakili sekitar 40 persen penduduk di Indonesia. Angkringan yang sudah tidak asing bagi orang Jawa mondorong akulturasi bagi masyarakat suku lainnya. Memakan ampela dan hidangan lainnya menjadi kebiasaan baru yang umum. Sebagai contoh kecil, berasa ada yang kurang jika makan bubur tidak ditemani ampela dan telur puyuh. Budaya memakan bubur yang biasanya tidak pakai ampela sudah berubah.
***
GN/MRA